Meninggalnya
Wakil Menteri (Wamen) ESDM RI, Prof. Widjajono Partowidagdo, saat
menjajal ketinggian Gunung Tambora, cukup mengejutkan publik. Pria
sahaja yang hendak menjadikan Tambora sebagai kawasan Geowisata itu,
takluk menuju pangkuan Sang Khalik ketika sebelum mencapai puncak.
Sekitar 50 meter. Namun, ada cerita menarik di balik kematian mendadak
itu. Itulah yang kini hangat dibicarakan masyarakat Bima dan Dompu.
Seperti apa?
Tambora
memang eksotik dan menggoda siapa saja, terutama yang hobi alam. Bisa
dipahami bila Wamen ESDM pun tergoda menjajalnya. Tambora pernah
mengamuk dan menghentak pada tahun 1815. Sejumlah kerajaan di sekitarnya
terkubur, hingga kini jejak sejarah hilangnya kehidupan itu jarang
ditemukan.
Kepala
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bima, Ir. Ilham
Sabil, satu di antara orang yang menemani Wamen menjajal gunung Tambora
itu. Jika Anda menonton TV One, pria berperawakan kecil dan berjaket
biru disamping Wamen, itulah Ilham. Kepada wartawan yang menemuinya,
Minggu (22/4) siang, Ilham membeberkan seputar proses pendakian dan
saat-saat terakhir menemani pria nyentrik itu. Momentum kebersamaannya
dengan Wamen ESDM di atas gunung Tambora, tidak akan terlupakannya. Ya,
karena melihat dari dekat saat-saat terakhir bersama pria sederhana dan
bersahaja itu.
Ini
pengalaman Ilham menemani Wamen. Sebelum berangkat, Wamen menunaikan
shalat Jumat di Masjid Baiturahim Kabupaten Dompu. Sempat disalami
jamaah shalat Jumat yang kagum terhadap kepribadiannya. Usai
takhiyat akhir dan dilanjutkan doa, Wamen duduk di antara shaf warga
Dompu. Penampilannya apa adanya, rupanya menjadi perhatian para jamaah.
Meskipun tidak terpampang label Menteri di pundak maupun dadanya, Wamen
dikenali oleh jamaah.
Warga
pun merangsek, mendekat dan menyalami. Ada yang muda, tidak terkecuali
yang tua. Mereka mengaku senang melihat penampilan Wamen yang sangat
bersahaja, seperti yang kerap muncul di TV.
Namun,
siapa sangka sapaan hangat dari warga Dompu ini menjadi salam terakhir.
Selepas dari masjid, rombongan Wamen mampir pada salahsatu hotel di
Kabupaten Dompu untuk makan siang. Baru menjelang Ashar, rombongan
memulai perjalanan menuju kaki Gunung Tambora.
Rombongan
Wamen sendiri terdiri dari empat orang, selain Wamen, satu orang staf
dan dua kru TV One. Dari Kabupaten Bima dirinya, pejabat Dinas
Pertanian, Diskoperindag, satu Pengamat Gunungapi Sangiang, satu
Pengamat Gunungapi Tambora, dan enam anggota Pencinta Alam (PA). Atau
jumlahnya 20 orang. Menggunakan Jeep Hard Top, perjalanan pun dimulai.
Wamen
dan rombongan tiba di Posko 1 sekitar pukul 15.30 Wita. Tidak menunggu
waktu lama, rombongan memulai pendakian menuju Posko 2. Tingginya
sekitar 900 meter dari permukaan laut. Setelah beristirahat, rombongan
kembali menempuh jarak 1.500 meter menuju Posko 3 dan sampai di situ
sekitar jam 21.00 Wita.
Ilham pun
mulai bercerita soal kondisi fisik Wamen. Ketika mencapai ketingian
2.250 meter, tanda-tanda kepergian Wamen mulai terlihat. Terlihat rapuh
dan meminta air minum. Wamen memilih beristirahat sejenak. Seorang
Pemandu pun memberikan perintah kepada rombongan, jika ada yang ingin
melanjutkan disilakan. Sebagian rombongan naik, dan sebagian lagi
beristirahat termasuk Wamen. Ilham sendiri go on.
Rombongan
yang melanjutkan baru tiba di puncak sekitar pukul 08.00 Wita. Setelah
istirahat, Wamen melanjutkan perjalanan. Namun, ketika hampir mencapai
puncak, benar-benar tidak kuat. Ilham yang telah sampai puncak dipanggil
turun oleh Wamen. Jaraknya sekitar 50 meter.
Saat
sampai di bawah, Wamen terlihat sudah tidak bertenaga. Namun, masih
dapat berbicara. Kepadanya, Wamen sempat meminta dibacakan ayat Kursi.
Permintaan tersebut pun diiyakan. Dua kali ayat Kursi dibacakannya
mengiringi suasana yang menegangkan. Suasana lingkungan senyap. Dingin
menyergap.
Allah
adalah Pemilik Kehidupan. Sutradara Agung. Menurut Ilham, beberapa saat
kemudian Wamen meninggal, sekitar pukul 09.30 Wita. Namun, kepergian
Wamen tidak dikabarkan langsung, hanya memberitahu pendaki lainnya bahwa
Wamen tengah kritis. Itu dimaksudkannya agar tidak tercipta kepanikan.
Hingga akhirnya Wamen dibawa turun menggunakan tandu buatan dalam
kondisi udara dingin yang berkabut.
Saat
itu, berkali-kali helikopter penjemput Wamen berdatangan. Namun, karena
kondisi yang tidak memungkinkan untuk mendarat, jenazah pun tidak jadi
dibawa. Jenazah Wamen baru bisa dievakuasi oleh helikopter milik PT
Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Pos 1. Di situlah, secara medis Wamen
dinyatakan meninggal oleh dokter, sekitar pukul 15.30 Wita.
Selama
mendaki, banyak kesan yang ditinggalkan Wamen. Hal yang paling diingat
Ilham adalah kesahajaan yang tercipta secara alami. Tidak dibuat-buat.
Meskipun memiliki jabatan tinggi, Wamen kerap tidak mengindahkan jika
dipanggil Bapak. “Saya sendiri nggak direspons kalau dipanggil Bapak,”
kenangnya.
Wamen
datang menjajal ketinggian Tambora karena memiliki misi terhadap gunung
yang pernah meletus hebat itu. Selain karena hobi, dalam suatu obrolan,
Wamen pernah bertutur jika ingin menjadikan Gunung Tambora sebagai
kawasan Geowisata yang bisa dikenal dunia. Ada lagi impiannya. Wamen
ingin membangun sarana dan prasarana jalan yang memadai di sekitar
kawasan Tambora.
Minggu
(22/4) siang, jenazah Wamen dikuburkan di kompleks pemakaman San Diego
Hill, Karawang. Ada yang “menggugat” ironitas lokasi pemakaman Wamen
dengan demonstrasi kesahajaan yang selama ini ditunjukkannya ke publik.
Namun, ada yang meyakini, itu hanya ekspresi kecintaan keluarga dan
bukan keinginan pria sederhana itu. http://sosok.kompasiana.com